"Sasuke!
Ayo kita pulang!"
Sasuke menoleh
pada kakaknya yang menunggu di tepi arena bermain di tengah taman, lalu
memandang Naruto.
"Aku
pulang dulu. Besok kita main lagi di sini," pamit Sasuke, lalu berlari
menemui Itachi.
Naruto hanya
memandang kepergian Sasuke. Sekarang hanya diri Naruto yang tersisa di taman
tersebut. Teman-temannya yang lain seperti Shikamaru dan Kiba, telah
meninggalkan taman sejak sore tadi.
Naruto
memandang langit. Tak lama lagi malam akan menjelang. Dia juga sudah harus
pulang. Tak dapat lagi bermain di arena bermain walaupun sebenarnya ia masih
ingin tinggal lebih lama.
Naruto berjalan
lesu meninggalkan taman sambil menendang-nendang sebuah kerikil. Seperti biasa,
ia menjadi anak terakhir yang meninggalkan taman. Seorang diri, pula. Tanpa ada
yang menemani, apalagi menjemput….
Tuk!
Kerikil yang
Naruto tendang mengenai sebuah benda yang tergeletak di luar taman. Naruto
terbelalak. Itu 'kan….
"Mainan
kayu milik Sasuke!" seru Naruto. Sasuke pasti menjatuhkannya saat
meninggalkan taman bersama Itachi.
Naruto memungut
mainan tersebut. Mengamati dengan takjub mainan yang sebenarnya sangat, sangat
sederhana itu.
Mainan tersebut
berbentuk kuda yang sedang berdiri, terbuat dari kayu yang dipoles hingga halus
dan tidak dipelitur. Hanya mainan biasa bagi kebanyakan anak sebaya Sasuke.
Namun tidak
bagi Naruto.
Naruto tidak
pernah memiliki mainan sebelumnya. Sebagai seorang anak yang hanya tinggal
seorang diri, ia tidak memiliki orang tua yang dapat memberinya hadiah berupa
mainan. Apa yang Naruto miliki di kamarnya yang sederhana hanya perabotan
sederhana yang sudah lama ia gunakan, beberapa lembar pakaian dan… ehm,
beberapa bungkus ramen cepat saji yang menjadi menu kesukaannya pada malam
hari.
Naruto
memandang ke arah Itachi dan Sasuke yang sudah menjauh. Ah, kakak-beradik itu
akrab sekali. Mereka tampak asyik bercerita mengenai sesuatu hal yang tentu
saja tak dapat Naruto dengar. Dari tempatnya berdiri, Naruto dapat melihat
Itachi akhirnya menggendong adiknya di punggung.
"Sasuke
beruntung sekali," gumam Naruto. Iri.
Sasuke memiliki
segalanya. Orang tua, kakak yang sangat menyayanginya, rumah yang besar dan
penuh kehangatan, teman-teman yang berlomba-lomba ingin menjadi lebih dekat
dengannya dan… barangkali, sangat banyak mainan. Terlalu banyak mainan yang
barangkali jika hilang sebuah, tidak akan diperhatikan oleh Sasuke. Sebab, dia
telah memiliki segalanya. Apalah arti sebuah mainan kayu yang sederhana?
Naruto
mengamati mainan kayu berbentuk kuda sebesar genggaman orang dewasa tersebut.
Ia berbalik, lalu berjalan menuju tempat tinggalnya. Dengan tangan menggenggam
benda yang bukan miliknya.***
Di kamarnya,
Naruto duduk bersila di atas tatami sambil memegang mainan dari kayu milik
Sasuke. Mainan yang ia ambil tanpa diketahui oleh pemiliknya. Seperti seorang
pencuri.
Pencuri.
Naruto
tersentak. Ia menggeleng kuat-kuat. Ia tidak mencurinya! Mainan itu terlepas
dari tangan pemiliknya. Artinya, mainan itu dapat disebut telah hilang,
sedangkan benda yang hilang adalah benda yang tak bertuan. Jika seseorang
menemukan benda tak bertuan tersebut, maka… jika ia mau, ia dapat saja
mengambil benda tersebut. Sebab, benda tak bertuan adalah benda yang tak
dimiliki oleh siapa pun. Benda yang hilang, benda yang….
Tapi kau tahu siapa pemilik mainan ini, Naruto! Kau bisa mengembalikannya
jika kau memang bukan seorang pencuri.
Naruto
tersentak lagi. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari asal suara yang
terngiang di telinganya.
Tidak ada
siapa-siapa. Hanya ada dirinya seorang di dalam kamar.
Naruto membuang
napas lega. Ia bangkit dari duduknya, lalu meletakkan mainan milik Sasuke—ah,
bukan, mainan yang ia temukan—di atas tempat tidur. Naruto kemudian membuka
jendela, memandang keindahan Konoha pada malam hari yang disinari oleh bulan
purnama.
"Desa yang
indah. Suatu hari nanti, aku akan menjadi Hokage dan melindungi desa ini,"
ucap Naruto pada dirinya sendiri.
Jangan bercanda. Bagaimana mungkin kau dapat menjadi pelindung desa ini
jika kau mengambil benda yang bukan milikmu tanpa seizin pemiliknya?
Naruto
terlonjak hingga hampir terjungkal. Suara itu lagi. Siapa yang mengatakannya?
Siapa?
Naruto kembali
mencari-cari asal suara tersebut. Setelah beberapa lama, ia kembali tersentak
saat menyadari bahwa ada empat pasang mata yang sedang menatapnya dengan tajam!
Naruto mundur
selangkah karena ngeri melihat tatapan keempat pasang mata tersebut.
Sebelumnya, mereka tak pernah menatap warga Konoha, termasuk Naruto, dengan
tatapan seperti itu. Tatapan dari keempat wajah Hokage yang terpahat di Monumen
Hokage, yang seolah-olah turut kecewa dan marah dengan tindakan Naruto yang
mengambil benda yang bukan menjadi haknya.
Kembalikan mainan itu, Naruto! Mainan itu bukan milikmu!
Ah, suara itu
lagi. Naruto kini mulai ketakutan. Ia menutup kedua telinganya, berharap bahwa
suara-suara tersebut tak akan terdengar lagi.
Kembalikan, Naruto. Kau bukan pencuri. Seorang calon Hokage tidak akan
mencuri dari orang yang akan ia pimpin!
Percuma! Suara
itu terdengar lagi! Air mata Naruto mulai menetes karena ketakutan. Kedua
tangannya masih tetap menempel di telinganya.
"Tidak…
aku tidak mencurinya. Sasuke yang menjatuhkannya. Dia pasti akan mengira
mainannya hilang dan tidak akan mencarinya…." Naruto masih mencoba
menyangkal.
Kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Pernahkah kau memikirkan perasaan
Sasuke? Bagaimana jika ia mencari mainan itu dan merasa sedih karena tidak
menemukannya?
"Perasaan
Sasuke…?" ucap Naruto, tersentak. Ia menurunkan kedua tangannya, lalu
melihat mainan kayu yang tergeletak di atas tempat tidurnya.
"Apa
benar, Sasuke akan merasa kehilangan mainan ini…?"
Naruto memungut
mainan tersebut. Mengamatinya beberapa lama, merasa sayang jika harus
kehilangan mainan pertama yang ia peroleh.***
Keesokan
harinya, di taman Konoha pada sore hari.
Naruto
mencari-cari sosok Sasuke. Dengam mudah ia menemukan anak laki-laki yang
menjadi pusat perhatian sejumlah anak perempuan tersebut. Sakura dan Ino tampak
berebut ingin bermain ayunan dan berharap Sasuke yang mendorong ayunan yang
mereka duduki tersebut.
Naruto menarik
napas dalam, lalu menghampiri Sasuke. Anak laki-laki itu tampak menjauh dari
Sakura dan Ino. Tidak enak hati menyaksikan pertengkaran kedua anak perempuan
tersebut hanya karena ingin bermain bersama dirinya.
"Ini.
Kemarin kau menjatuhkannya," kata Naruto sambil memberikan mainan kayu
milik Sasuke pada pemiliknya.
Sasuke
tercengang. Ia mengamati mainan tersebut, lalu memandang Naruto.
"Terima
kasih. Semalam aku mencarinya. Kupikir sudah hilang, tapi aku tidak berani
mengatakannya pada aniki. Soalnya, dia yang memberikan mainan ini
untukku," kata Sasuke, tampak gembira karena telah menemukan benda
miliknya yang hilang.
"Lain kali
kau hati-hati, ya. Jangan sampai kehilangan lagi," pesan Naruto.
"Ya….
Untung ada kau, Naruto. Temanku yang baik."
Naruto
tersenyum mendengar pujian Sasuke. Ah, Sasuke ternyata menganggapnya sangat
baik.
Meskipun mainan
tersebut kini telah dikembalikan pada pemiliknya, entah mengapa, Naruto tidak
merasa kecewa atau kehilangan. Sebaliknya, Naruto merasa dirinya kini lebih
baik. Tidak terdengar lagi suara-suara yang menyuruhnya agar berbuat jujur.
Ya, Naruto kini
merasa… lega. Sangat, sangat lega.
"Hei, mau
main jungkat-jangkit?" tanya Sasuke sambil mengulurkan tangan.
"Ya.
Ayo!" balas Naruto sambil menyambut uluran tangan Sasuke.
Tak lama
kemudian, Naruto dan Sasuke sudah bermain bersama, masing-masing duduk di tiap
sisi jungkat-jangkit yang berseberangan. Bermain… tertawa bersama… riang ceria.
Naruto berharap, Sasuke akan tetap menjadi temannya. Kalau bisa, untuk
selamanya….***
appik cha.....
BalasHapus^^
blogmu mari tak kunjungi shof
Hapus